Keberuntungan tahun ini ternyata
belum berakhir. Menjelang akhir tahun, saya dapat ajakan untuk eksplorasi
Kepulauan Komodo dari Kemenparekraf bersama beberapa teman blogger. Jangan
bingung, Kemenparekraf itu nama baru untuk Kementrian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif. Rasanya tidak perlu pikir panjang untuk mengiyakan ajakan tersebut,
mengemas baju, dan segera terbang ke Pulau Flores.
Kami mendarat di Bandara Bajo
Komodo Airport setelah sebelumnya transit di Bali. Begitu keluar dari lambung
pesawat, mata langsung disambut dengan pemandangan berbukit khas Flores. Di
akhir Oktober 2011 ini, permukaan Labuan Bajo berwarna coklat kering. Berbeda
dengan perjalanan saya Juli tahun lalu yang dipenuhi nuansa hijau dan awan
bergulung berat dengan uap air sebelum hujan.
Hanya memerlukan waktu 15-20
menit untuk pergi dari Bandara menuju pusat kota. Jangan lupa untuk membuka
jendela dan mendapatkan pemandangan pertama saat menuruni bukit dan memasuki
kota. Rumah berbaris sampai dekat mulut Pelabuhan Tilong terus disambung Laut
Flores dan beberapa pulau terdekat.
Begitu memasuki jalan utama Labuan Bajo, Jl. Yos Sudarso, kita bisa
melihat deretan restoran, penginapan, dan tentunya dive shops. Agak kaget dan kagum melihat pesatnya perkembangan
Labuan Bajo. Baru 1 tahun lewat dari kunjungan saya terakhir, tapi sudah begitu
banyak bangunan baru. Dan pembangunan masih terus berlanjut sampai di ujung
jalan menuju keluar kota.
![]() |
| koleksi foto @kusumorini |
Mendapat kejutan yang menyenangkan
waktu tahu bahwa kita akan menginap di Green Hotel. Kamar-kamarnya terletak
tinggi di atas bukit, dan sebagai bonusnya, cukup dengan membuka tirai jendela
kamar, kita bisa langsung melihat pemandangan pelabuhan dan Laut Flores. Saat
euphoria menjela-jela,mendadak hujan turun. Hujan pertama sejak Labuan Bajo
didera kemarau yang cukup lama. Hoorah!!
![]() |
| koleksi foto @lucianancy |
Sambil menunggu hujan yang datang
tanpa malu-malu datang bergerombol, kami makan di salah satu restoran pertama
dan favorit di Labuan Bajo, Gardena. Saya belum pernah mampir disini sebelumnya.
Asumsi saya sebagai backpacker dengan uang terbatas, restoran ini memerlukan
rogohan dompet yang cukup dalam. Ternyata salah total! Makanan utama berkisaran
di angka 20-40ribu. Masih terdengar mahal? Tunggu sampai makanannya datang.
Porsi Flores memang terkenal luar biasa. Porsi kuli dikali dua! Steak saya
diisi dengan 5 (ya, Lima) potong daging. Bagi orang-orang yang tinggal di Jawa,
perlu ekstra lapar atau ekstra ruangan perut untuk bisa sukses menghabiskan
satu porsi sendiri. Satu lagi fakta
menarik tentang makanan di Flores adalah sambalnya. Cabe flores mini dengan
ledakan rasa pedas, dicampur dengan perasan air jeruk dan kadang diisi dengan
daun kemangi. Wajib coba bagi semua pencinta makanan pedas. Kalau muka sudah
mulai merah dan perut mulai panas, tutuplah dengan jus nanas atau mangga.Buah legit dan berair cocok untuk menenangkan ubun-ubun.
Setelah perut padat dan hujan
berhenti, pertanyaan berikutnya adalah ‘Apa lagi yang bisa dilakukan di Labuan
Bajo?’. Berhubung Batu Cermin terletak
cukup jauh dari kota, akhirnya kami putuskan untuk tetap tinggal di kota dan
mengejar sunset. Dan dimana lagi tempatnya kalau bukan di Paradise Bar. Bagi
orang yang sudah sering jalan dan mengejar merahnya senja, lama-lama kegiatan
ini memang agak membosankan. Tapi tidak di Labuan Bajo dan Paradise Bar-nya.
Pertama kami bergerak ke arah
selatan kota. Sekali lagi kaget karena melihat pembangunan sudah sampai disini.
Pariwisata sudah lewat fasa menggeliat dan sekarang sedang lari sprint. Hal
baik mengingat angka pengangguran yang relatif tinggi (30% menurut www.nttprov.go.id). Mudah-mudahan pembangunan ini bisa ditranslasi
jadi pilihan penghasilan warga lokal.
Kembali ke proses berburu senja.
Sampai di dekat Hotel Jayakarta, kami bisa mengintip sedikit merahnya matahari
dari balik pohon-pohon kering. Tidak bisa berhenti lama demi mengejar puncak
atraksi senja di Paradise Bar. Bar ini terletak jauh di atas bukit arah utara
dari Labuan Bajo. Sempurna dengan teras terbuka dan sudut pandangnya. Dari sini
kita bisa melihat ujung barat laut Pulau Flores, Pelabuhan Tilong, Pulau
Kukusan Besar dan tentunya semburat merah matahari sebelum ditelan Laut Flores.
Saat terbaik untuk mengabadikan pemandangan ini adalah di bulan Mei- Juli,
karena posisi matahari tepat di depan bar. Untuk sekarang kami cukup dipuaskan dengan
warna, bau tanah yang tersiram hujan, dan secangkir kopi Flores hangat.
![]() |
| koleksi foto @lucianancy |
![]() |
| Foto kiri diambil di Bulan Juli 2010 Foto kanan koleksi dari @lucianancy |
Catatan: Lalajo berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 'menonton atau melihat'




